Isnin, Julai 28, 2014
Selasa, Julai 22, 2014
TANGIS PERPISAHAN PARA PECINTA RAMADHAN
“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan
tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan,
dan juga keistimewaannya.”
Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari
jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu…. Rasanya baru
kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan
Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah,
bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan
meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail
kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan
ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya
terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat
berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.
Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan
mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap
sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali
bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.
Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati
mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam
terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak
dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka
terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu
meninggalkan mereka.
Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja
dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah
lainnya.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan,
menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat,
karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini
merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala
kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka
apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu
akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa
dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan
pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu
setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan
akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang
berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan
ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus
masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara
orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari
Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak
diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena
boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan
datang.
Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz
berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian
telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan
shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar
seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”
Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah
hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram
durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi,
aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk
mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah
amalanku diterima atau tidak.”
Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW.
Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung
Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah
gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat
kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat
‘melayatnya’.”
Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud
RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita
beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak
amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya,
berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya,
keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”
Imam Mu’alla bin Al-Fadhl RA berkata, “Dahulu para ulama senantiasa
berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan.
Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah
mereka (selama Ramadhan).”
Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan
kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan
maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah
dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.
Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana
mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana
mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui
jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di
kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu
bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai
di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan
amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli
baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang
berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan
untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.
Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan
kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah
mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari
raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
Lebarannya Rasulullah SAW
Idul Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak
salah bila disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang,
dan penduduk Madinah memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu
untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata, ‘Aku telah
mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk
bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk
kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha)
dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”
Hanya saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik
itu dalam berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya
‘Idul Fithri pun, kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan
sehingga kita lupa untuk menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail.
Bukankan kita sudah dilatih untuk menghidupkan malam-malam kita dengan
Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu
Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan qiyamul lail pada dua malam ‘Id
(‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah SWT, hatinya
tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia’.” (HR Ibnu
Majah).
Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat
i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk
berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh
semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik
perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat
shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.
Menurut hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan
semua gadis dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar
mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum
muslimin. Hanya saja wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat
shalat.” (HR Bukhari-Muslim).
Dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh
istri dan anak-anak perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi
dan Ibnu Majah).
Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut
pergi bersama Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil),
menghadiri Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat
dan berkhutbah. Dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu
mengajar dan menasihati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan
sedekah.”
Sebelum melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah
membersihkan diri. Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami
sebagaimana Engkau sucikan badan kami, sucikanlah bathin kami
sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami, sucikanlah apa yang
tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah menyucikan apa yang
tampak dari kami.”
Ada juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai
parfum. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di
dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan
parfum terbaik yang kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa
saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya
baik).
Imam Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW
mengenakan kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain
terbagus dalam hal ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari
yang dimiliki. Lebih khusus lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan,
Nabi SAW memakai pakaian buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya
(Pakaian buatan Yaman merupakan standar keindahan busana saat itu).
Pada hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang
terbaik yang biasa beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini
merupakan tanda syukur kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya.
Kemudian, beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma
yang dimakan biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan
berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam menghentikan puasanya.
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah
tak henti-hentinya mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar,
Allahu Akbar, walillahilhamdu.”
Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha
di tanah lapang, seperti disebutkan di dalam hadits riwayat
Bukhari-Muslim. Beliau baru melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari
hujan. Menurut ahli fiqih, tempat salat ‘Id yang sering digunakan
Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah lapangan di pintu
timur kota Madinah.
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk
memberi kesempatan kepada para sahabat membayar zakat fithrah mereka.
Sementara salat ‘Idul Adha dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa
menyembelih hewan qurban mereka.
Jundab RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami
ketika matahari setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami
ketika matahari setinggi satu tombak.”
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan
iqamat. Pada rakaat pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan
takbiratul ihram dan kaum muslimin di belakangnya bertakbir seperti
takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah lainnya dengan
keras.
Pada rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian
bertakbir lima kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah
lainnya.
Namun ada juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia
hanya mendapat tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi
dia shalat dua rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari
imam.
Lalu bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut
Ibnu Mas’ud, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia
shalat empat rakaat sendiri.”
Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada
Hari Raya Haji dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat.
Setelah selesai shalat dan memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum
muslimin yang masih duduk di tempat shalatnya masing-masing. Jika
mempunyai keperluan yang mesti disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu
kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau
memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam
salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah kalian!
Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan
sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu
melewati jalan yang berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para
sahabat yang hendak menemui beliau untuk mengucapkan selamat hari raya,
sekaligus menunjukkan kepada kaum kafir bahwa inilah umat Islam, yang
keluar menuju Allah, dan kembali kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan
berjalan di muka bumi ini agar memperoleh keridhaan-Nya.
Saling Bermaafan
Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya
saling mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan
RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu
aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima
amal ibadahku dan amal ibadahmu).’
Lalu ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.
Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka.
Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi).
Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika
sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata,
“Taqabballahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan
amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).
Pada hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk
bergembira. Seperti mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan
minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak
dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas keharaman. Karena, hari
itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa
Jalla (HR Muslim).
Aisyah RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk
ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang
bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari
besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan
Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil
memalingkan mukanya.
Tidak lama setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping Rasulullah?’
Mendengar hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya
berkata, ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari
raya, dan hari ini adalah hari raya kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW
masuk ke tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya
sedang menyanyikan syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng
kepunyaan suku Aus; sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal
di kalangan Arab, waktu terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan
Khazraj). Beliau terus masuk dan berbaring di ranjang sambil
memalingkan kepalanya.
Tiba-tiba masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka) mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’
Maka Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’
Kemudian setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan mereka pun pergi.
Dan waktu hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan
senjata dan perisai. Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk
melihat, dan adakalanya pula beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah
kau melihatnya?’
Aku jawab, ‘Ya.’
Maka disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’
Demikianlah sampai aku merasa bosan.
Maka beliau bertanya, ‘Cukupkah?’
Aku jawab, ‘Cukup.’
‘Kalau begitu, pergilah!’ kata beliau.”
Hakikat Kemenangan
Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan.
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya,
tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan
Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul
bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura’ (tanggal 10
Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.
Tarawih memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti
kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan
orang-orang shalih. Abu Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata,
“Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.”
Zakat fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.
Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi
fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih Islami. Baik tujuan,
orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku,
interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya.
Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat. Ini
merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah
SWT menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan
perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal
kebajikan.
Seorang penyair Arab mengingatkan dalam sya’irya:
Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta’atnya
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta’atnya
Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan
ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan ini dapat
kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita
sehari-hari. Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan
Ramadhan berikutnya.
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu ‘aamin wa antum bikhairin.
Sumber:
Isnin, Julai 21, 2014
Sabtu, Julai 19, 2014
TANDA LAILATUL QADR
Lailatul Qadar merupakan satu malam yang mempunyai kelebihan
lebih seribu bulan yang lain. Ini dapat kita lihat daripada apa yang
telah dinukilkan oleh Allah di dalam al-Quran dalam surah al-Qadar.
Begitu juga dengan apa yang telah diberitahu oleh Rasulullah S.A.W dalam
beberapa hadis yang sohih. Kita digalakkan untuk menghidup malam
lailatul qadar dan tidak membiarkannya berlalu begitu sahaja. Rasulullah
S.A.W telah bersabda dalam hadis muttafaq ‘alaih daripada Abu Hurairah
yang bermaksud: Sesiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar penuh keimanan dan keikhlasan akan diampun baginya dosa yang telah lalu.
Menurut imam Fakhrurrazi bahawa Allah menyembunyikan malam lailatul
qadar daripada pengetahuan kita sebagaimana Dia menyembunyikan segala
sesuatu yang lain. Dia menyembunyikan keredhaanNya pada setiap ketaatan
sehingga timbul dalam diri kita keinginan untuk melakukan semua ketaatan
atau ibadat itu. Begitu juga Dia menyembunyikan kemurkaanNya pada
setiap perkara maksiat agar kita berhati-hati dan menjauhi segala
maksiat dan tidak memilih antara dosa besar dan kecil untuk melakukannya
kerana dosa kecil jika terus dilakukan secara berterusan akan menjadi
dosa besar jika kita tidak bertaubat dan berusaha meninggalkannya. Dia
menyembunyikan wali-waliNya agar manusia tidak terlalu bergantung kepada
mereka dalam berdoa sebaliknya berusaha sendiri dengan penuh keikhlasan
dalam berdoa untuk mendapatkan sesuatu daripadaNya kerana Allah
menerima segala doa orang yang bersungguh-sungguh dan tidak mudah
berputus asa. Dia menyembunyikan masa mustajab doa pada hari Jumaat
supaya kita berusaha sepanjang harinya.
Begitulah juga Allah
menyembunyikan penerimaan taubat dan amalan yang telah dilakukan supaya
kita sentiasa istiqamah dan ikhlas dalam beramal dan sentiasa bersegera
dalam bertaubat. Demikianlah juga dengan penyembunyian malam lailatul
qadar agar kita membesarkan dan menghidupkan keseluruhan malam Ramadhan
dalam mendekatkan diri kepadaNya bukan hanya sekadar menunggu malam
lailatu qadar sahaja untuk beribadat dan berdoa. Tetapi inilah penyakit
besar yang menimpa umat Islam yang menyebabkan malam-malam Ramadhan lesu
kerana mereka hanya menanti malam yang dianggap malam lailatul qadar
sahaja untuk beribadat. Kerana mengejar kelebihan lailatul qadar yang
mana kita tidak mengetahui masanya yang tertentu menyebabkan kita
terlepas dengan kelebihan Ramadhan itu sendiri yang hanya datang setahun
sekali.
Antara tanda-tanda dalam mengetahui malam lailatul qadar adalah berdasarkan beberapa hadis di bawah :
- Abi Ibnu Ka’ab telah meriwayatkan bahawa Rasulullah S.A.W telah bersabda mengenai lailatul qadar yang bermaksud : Sesungguhnya matahari yang keluar pada hari itu tidak begitu bercahaya (suram). – Hadis riwayat imam Muslim dalam kitab puasA
- Telah diriwayatkan daripada Nabi S.A.W bahawa baginda telah bersabda yang bermaksud : Sesungguhnya tanda-tanda lailatul qadar, bahawa malamnya bersih suci seolah-olah padanya bulan yang bersinar, tenang sunyi, tidak sejuk padanya dan tidak panas, tiada ruang bagi bintang untuk timbul sehingga subuh, dan sesungguhnya tanda-tandanya matahari pada paginya terbit sama tiada baginya cahaya seperti bulan malam purnama tidak membenarkan untuk syaitan keluar bersamanya pada hari itu. – Hadis riwayat imam Ahmad dengan isnad jayyid daripada Ibadah bin As-Somi
- Dalam Mu’jam At-Tobarani Al-Kabir daripada Waailah bin Al-Asqa’ daripada Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud : Malam lailatul qadar bersih, tidak sejuk, tidak panas, tidak berawan padanya, tidak hujan, tidak ada angin, tidak bersinar bintang dan daripada alamat siangnya terbit matahari dan tiada cahaya padanya(suram).
- Telah meriwayat Al-Barraz dalam musnadnya daripada Ibn Abbas bahawa Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud : Malam lailatul Qadar bersih tidak panas dan tidak pula sejuk.
Qadhi ‘Iyad telah mengatakan ada dua pendapat mengenai matahari yang terbit tanpa cahaya iaitu:
- Ia merupakan tanda penciptaan Allah SWT.
- Menunjukkan bahawa kerana terlalu banyak para malaikat yang berzikir kepada Allah pada malamnya dan mereka turun ke bumi yang menyebabkan sayap-sayap dan tubuh mereka yang halus menutupi dan menghalangi matahari dan cahayanya.
Daripada hadis-hadis di atas bolehlah kita buat kesimpulan bahawa antara tanda-tanda lailatul qadar ialah:
- Pada malamnya keadaan bersih dengan cuaca tidak sejuk dan tidak pula panas.
- Malamnya tenang yang mana terang dan angin tidak bertiup sebagaimana biasa dan awan agak nipis.
- Malamnya tidak turun hujan dan bintang pula tidak bercahaya seolah-olah tidak timbul.
- Pada siangnya pula matahari terbit dalam keadaan suram.
Selasa, Julai 15, 2014
NUZUL AL-QURAN DAN LAILATUL QADR
Nuzul
Al-Quran
Peristiwa nuzul al-Quran menjadi satu rakaman sejarah dalam kehidupan
Nabi SAW hingga seterusnya
berperingkat-peringkat menjadi lengkap sebagaimana kitab al-Quran yang ada pada
kita hari ini. Peristiwa Nuzul al-Quran berlaku pada malam Jumaat, 17 Ramadan,
tahun ke-41 daripada keputeraan Nabi Muhamad SAW. Perkataan ‘Nuzul’
bererti turun atau berpindah dari atas ke bawah. Bila disebut bahawa al-Quran
adalah mukjizat terbesar Nabi SAW maka ianya memberi makna terlalu besar kepada
umat Islam terutamanya yang serius memikirkan rahsia al-Quran.
‘Al-Quran’
bererti
bacaan atau himpunan. Di dalamnya terhimpun ayat yang menjelaskan
pelbagai perkara meliputi soal tauhid, ibadat, jinayat, muamalat, sains,
teknologi dan sebagainya. Kalimah al-Quran, sering dicantumkan dengan
rangkai
kata ‘al-Quran mukjizat akhir zaman’ atau ‘al-Quran yang mempunyai
mukjizat’.
Malah inilah sebenarnya kelebihan al-Quran tidak ada satu perkara pun
yang
dicuaikan atau tertinggal di dalam al-Quran. Dengan lain perkataan
segalanya
terdapat di dalam al-Quran. Firman Allah:
"Dan tidak
seekor pun binatang yang melata di bumi, dan tidak seekor pun burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-umat seperti kamu. Tiada
Kami tinggalkan sesuatu pun di dalam kitab Al-Quran ini; kemudian mereka
semuanya akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (untuk dihisab dan menerima
balasan):. (Al-An’am:38)
al-Quran
adalah hidayah, rahmat, syifa, nur, furqan dan pemberi penjelasan bagi
manusia.. Segala isi kandungan al-Quran itu benar. Al-Quran juga dikenali
sebagai Al-Nur bererti cahaya yang menerangi, al-Furqan bererti
yang dapat membezakan di antara yang hak dan batil dan al-Zikr pula
bermaksud yang memberi peringatan.
Dalam
sejarah kehidupan Nabi SAW ayat al-Quran yang mula-mula diturunkan Allah kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibrail ialah lima ayat pertama
daripada surah Al-‘Alaq. maksudnya:
”Bacalah
(wahai Muhammad) dengan nama Tuhan mu yang menciptakan (sekalian makhluk), Ia
menciptakan manusia dari sebuku darah beku; Bacalah, dan Tuhan mu Yang Maha
Pemurah, -Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, -Ia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘alaq:1-5)
Hubungan
Lailatul Qadar dan Nuzul al-Quran
Lailatul
Qadar pula ialah suatu malam pada bulan Ramadhan yang begitu istimewa sekali
fadilatnya. Malam al-Qadar adalah suatu malam yang biasanya berlaku pada 10
akhir Ramadhan dan amalan pada malam itu lebih baik baik dari 1000 bulan.
Apakah
kaitannya malam al-Qadar dengan nuzul al-Quran? Sebenarnya al-Quran dan malam
Lailatulqadar mempunyai hubungan yang rapat antara satu sama lain sebagaimana
yang diterangkan di dalam kitab Allah dan hadis Rasulullah SAW di antaranya
firman Allah SWT,
Maksudnya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar,
Dan apa jalannya engkau dapat mengetahui apa dia kebesaran Malam Lailatul-Qadar
itu? Malam Lailatul-Qadar lebih baik daripada seribu bulan. Pada Malam itu,
turun malaikat dan Jibril dengan izin Tuhan mereka, kerana membawa segala
perkara (yang ditakdirkan berlakunya pada tahun yang berikut); Sejahteralah
Malam (yang berkat) itu hingga terbit fajar!" (al-Qadar:1-5)
Mengikut
satu pandangan, ayat ini diturunkan
berdasarkan satu riwayat dari Ali bin Aurah, pada satu hari Rasulullah
SAW telah menyebut 4 orang Bani Israel yang telah beribadah kepada Allah selama
80 tahun. Mereka sedikit pun tidak derhaka kepada Allah, lalu para sahabat
kagum dengan perbuatan mereka itu. Jibril datang memberitahu kepada Rasulullah
SAW menyatakan bahawa Allah SWT
menurunkan yang lebih baik dari amalan mereka. Jibril pun membaca surah
al-Qadar dan Jibril berkata kepada Rasulullah ayat ini lebih baik daripada apa
yang engkau kagumkan ini menjadikan Rasulullah SAW dan para sahabat amat
gembira.
Dalam
hadis yang lain Aishah juga meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW bersabda
bersedialah dengan bersungguh-sungguh untuk menemui malam Lailatul qadar pada
malam-malam yang ganjil dalam 10 malam yang akhir daripada bulan Ramadhan.
Panduan
Dari
maklumat serba sedikit di atas tadi sebenarnya banyak boleh dijadikan panduan
kepada umat Islam seluruhnya. Antara panduan berkenaan ialah seperti:
- Tidak ada perkara yang tidak terdapat dalam al-Quran
- Ayat pertama diturunkan ialah ‘iqra’ iaitu ‘baca’ dan Tuhan mengajarkan manusia melalui perantaraan Pena dan Tulisan.
- Kelemahan umat Nabi Muhammad beribadat maka dianugerahkan satu masa yang apabila kita mendapatkannya kita akan digandakan pahala melebihi seribu bulan.
Apabila disebutkan bahawa tidak ada perkara yang tidak terdapat di dalam al-Quran itu maka ianya memberikan makna bahawa segala ilmu pengetahuan yang merangkumi fardu ‘ain dan fardu kifayah dalam segenap aspek kehidupan merangkumi ekonomi, sosial, perundangan, pendidikan, sains dan teknologi dan lain-lain, segalanya terdapat dalam al-Quran. Tafsiran, kupasan analisa dan penyelidikan membolehkan umat Islam maju mendahului umat-umat lain di dunia ini.
Manakala
penurunan al-Quran pula didahului dengan suatu kalimah ‘iqra’’ iaitu ‘baca’ di
mana membaca adalah kunci kepada penerokaan ilmu. Selepas itu pula Allah
mengiringi dengan ayat yang bermaksud; Yang mengajar manusia melalui pena dan
tulisan, -Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Keadaan ini
menguatkan lagi bahawa pembacaan dan penulisan itu menjadi antara perkara yang
paling penting dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Di mana sebagaimana diketahui
umum melalui satu ungkapan bahawa: “ilmu pengetahuan dan teknologi itu adalah
kuasa”.
Perkara
ketiga ialah hikmah dari anugerah malam al-qadar kepada umat Nabi Muhammad SAW
sebagai umat akhir zaman. Mengetahui kelemahan umat Islam akhir zaman ini dalam
beribadah maka dianugerahkan satu peluang di mana ibadah yang dilaksanakan pada
malam itu digandakan sehingga 1000 bulan. Bermakna kiranya kita dapat
melaksanakan ibadah dengan penuh keimanan di 10 akhir Ramadhan, kita akan
berpeluang mendapat malam al-Qadar. Ini akan menjadikan kita seolah-olah
beramal ibadah selama 1000 bulan iaitu sekitar 83 tahun. Menjadikan kita
seolah-olahnya menghabiskan seluruh hidup kita dan usia kita dalam ibadah.
Bagi
mencari malam-malam yang berkemungkinan sebagai malam al-qadar, maka kalangan
ulama ada menyatakan bahawa, malam-malam yang ganjil yang tersebut ialah malam
21, 23, 25, 27 & 29 dari bulan Ramadhan. Dalam pada itu terdapat juga
beberapa hadis yang menyatakan bahawa malam al-qadar itu pernah ditemui dalam
zaman Rasulullah SAW pada malam 21 Ramadhan. Pernah juga ditemui pada malam 23
Ramadhan. Terdapat juga hadis yang mengatakan bahawa baginda Rasulullah SAW.
menjawab pertanyaan seorang sahabat yang bertanya mengenai masa Lailatulqadar
supaya ianya bersedia dan menghayatinya. Baginda menjelaskan malam
Lailatulqadar itu adalah malam 27 Ramadhan. Dari keterangan-keterangan di atas
dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa malam Lailatulqadar itu berpindah dari
satu tahun ke satu tahun yang lain di dalam lingkungan 10 malam yang akhir dari
bulan Ramadhan. Yang pastinya bahawa masa berlakunya malam Lailatulqadar itu
tetap dirahsiakan oleh Allah SWT.
Kesimpulan
Sebagai
kesimpulannya marilah kita sama-sama menghayati nuzul al-Quran ini sebagai
suatu peristiwa besar yang penuh makna dan hikmah. Kita seharusnya melihat
al-Quran itu sebagai ‘kitab induk’ panduan Ilmu pengetahuan untuk memajukan
manusia seluruhnya. Memajukan manusia yang lebih penting adalah memajukan umat
Islam terlebih dahulu melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Membaca al-Quran itu adalah suatu ibadah. Sekarang bolehlah kita panjangkan
‘membaca’ al-Quran itu kepada menganalisa, mengkaji, menyelidiki dan mencari
rahsia ilmu pengetahuan di dalam al-Quran dan seterusnya menghasilkan
penulisan-penulisan yang akhirnya memajukan dunia ini dan khasnya memajukan
umat Islam dan seterusnya mengeluarkan umat Islam dari belenggu kelemahan dan
penghinaan.
Sumber: Dr. Samsu Adabi Mamat,
Jabatan Pengajian Arab dan Tamaddun Islam,
Universiti Kebangsaan Malaysia
Langgan:
Catatan (Atom)